Identifikasi Target Penerima Bantuan


Catatan Moderator: Para anggota komunitas,  dengan bangga kita sampaikan Rangkuman Jawaban terhadap Pertanyaan Pertama mengenai Meningkatkan Efektifitas Program melalui Identifikasi Target Penerima Bantuan.  Banyak terima kasih kepada seluruh anggota yang telah berbagi pengetahuan, pengalaman dan contoh-contoh yang sangat berguna. Kita tetap mengharapkan partisipasi, pertanyaan-pertanyaan, tanggapan-tanggapan, kritik, atau saran untuk kemajuan kita bersama.  Kita berharap forum ini akan memberi dampak yang berarti kepada pembangunan Indonesia, khususnya dalam hal penyediaan solusi-solusi dalam bidang Pembangunan Ekonomi.  Salam kompak selalu, Thamrin Simanjuntak
Solution Exchange untuk Komunitas Pembangunan Ekonomi
Rangkuman Tanggapan

Pertanyaan: Meningkatkan Efektifitas Program melalui Identifikasi Target Penerima Bantuan – Pengalaman; Contoh.

Dirangkum oleh Thamrin Simanjuntak, Moderator dan Dewi Gayatri, Research Assistant
Beredar: 09 Januari 2009


Dari Said Muhammad Fakultas Ekonomi, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh , Indonesia
Dikirimkan pada: 25 November 2008

Para Anggota Yang Baik,

Saya berkerja di Universitas Syiah Kuala pada Fakultas Ekonomi. Kami sedang menyiapkan suatu rekomendasi kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pembangunan tentang bagaimanakah cara meningkatkan keberhasilan intervensi melalui program-program yang bertujuan mengurangi kemiskinan dan memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat.

Saya berpendapat bahwa intervensi yang dilakukan (bisa dalam berbagai bentuk, seperti: bahan-bahan, peralatan, dana pinjaman lunak, atau pelatihan-pelatihan) tidaklah berdasar atas kondisi spesifik dari penerima bantuan yang ditargetkan.
Itulah alasan mengapa intervensi-intervensi tersebut terbukti tidak terlalu berhasil memperbaiki kondisi ekonomi para penerima bantuan. Oleh karena itu, untuk membuat intervensi pembangunan lebih efektif, kami melakukan klasifikasi masyarakat miskin dalam 3 kelompok dan kemudian menyesuaikan bentuk-bentuk intervensi untuk setiap kelompok. Klasifikasi tersebut adalah:
1.   Kelompok Pertama : Mereka yang berada paling bawah, tidak memiliki harta apapun, tidak memiliki pekerjaan, atau keterampilan dan keahlian.
2.   Kelompok Kedua : Mereka yang memiliki sedikit harta, tetapi tanpa pekerjaan dan tidak memiliki keterampilan atau keahlian.
3.   Kelompok Ketiga : Mereka yang memiliki sedikit harta dan pekerjaan tetapi tanpa keterampilan atau keahlian.

Dengan demikian, saya ingin Para Anggota dapat menolong saya dalam hal:

  • Adakah metodologi atau pendekatan lain yang diketahui atau yang telah digunakan dalam penetapan target penerima bantuan dalam program penanggulangan kemiskinan, dan bagaimana jika dibandingkan dengan pendekatan yang disampaikan di atas?

  • Adakah dari antara Para Anggota yang  memiliki contoh intervensi yang berhasil untuk salah satu kelompok dengan pendekatan penetapan target penerima bantuan seperti itu?

Pengalaman-pengalaman anda akan memperkaya isi laporan dan akan ditampilkan sebagai suatu sumber.


Terima kasih atas Tanggapan yang diterima dari
1.                  Kasru Susilo, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), Jakarta , Indonesia
2.                  Tonny Bengu, CARE International Indonesia , Timor, Nusa Tenggara Timur , Indonesia    
3.                  Johanes Yonerson, Haskoning Nederland BV, Jawa Tengah , Indonesia
4.                  Marthunis Muhammad, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Banda Aceh , Indonesia
5.                  Muhammad Jamil, World Vision Indonesia , Sumatera Utara , Indonesia 
6.                  Akhmad Muharram, International Organization for Migration, Banda Aceh , Indonesia
7.                  Sabastian Saragih , CIRCLE Indonesia , Yogyakarta , Indonesia
8.                  Muslim Hasan Birga, Inspiring for Managing People’s Actions (IMPACT), Banda Aceh, Indonesia  
9.                  Job Charles, International Organization for Migration, Banda Aceh , Indonesia
10.              Agus Saputra, Center for Community Development and Education (CCDE), Banda Aceh , Indonesia  
11.              Sayu Komang, IDEP Foundation, Ubud, Bali , Indonesia

Kami mengharapkan kontribusi selanjutnya.





Berkenaan dengan pertanyaan tentang metode dan pendekatan dalam memilih penerima bantuan dan contoh intervensi yang berhasil, Anggota Komunitas Praktisi Pembangunan Ekonomi menyampaikan beberapa strategi untuk mengidentifikasi penerima bantuan program pembangunan.  Mereka juga menyampaikan beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan pada saat memilih penerima bantuan.

Para Anggota Komunitas mengungkapkan beberapa cara dalam membuat kategori penerima bantuan:
·         Mengacu pada skala bantuan seperti perorangan, pasangan, keluarga, kelompok, desa, propinsi.
·         Mengacu pada potensi penerima bantuan, misalnya (i) orang yang memiliki asset namun tidak punya pengetahuan untuk mengelola, (ii) orang yang tidak memiliki  asset namun sumber alam tersedia di sekitarnya, mereka dapat berkembang secara ekonomi melalui pembentukan kelompok swadaya dan (iii) orang yang tidak memiliki asset ataupun keahlian yang mana mereka hanya dapat dibantu oleh program amal (antara lain penerapan konsep Musannif zakat yang dapat mencegah penyalah-gunaan pinjaman dana).

Anggota mengaitkan pula kategori tersebut pada tipe bantuan bagi setiap golongan, misalnya program amal bagi orang yang tidak memiliki apapun, bantuan pelatihan ketrampilan dan dana bagi kelompok kedua dan pelatihan manajemen bagi kelompok pertama.

Secara lebih khusus, para responden mengacu pada metode yang diterapkan di lembaga mereka dalam mengkaji penerima bantuan.  Metode tersebut adalah: 1.Participatory Rural Appraisal (PRA), 2.Household Economy Approach (HEA), 3.Household Livelihood Security Analysis (HSLA), 4.Plural Learning for Action (PLA), 5.Sustainable Livelihood Approach dan pengukuran Tingkat Kesejahteraan. Sebagai tambahan, anggota menyampaikan pengalaman di Sumatera Utara dan mengungkapkan bahwa sangat penting memulai pengkajian dari kebutuhan penerima bantuan kemudian merencanakan program yang sesuai, daripada mengadakan dana terlebih dulu yang dapat mendorong penggunaan dana pinjaman untuk konsumsi lain karena tidak adanya program yang meyakinkan.

Responden menggaris-bawahi beberapa faktor penting yang mempengaruhi proses identifikasi penerima bantuan.  Responden mengungkapkan bahwa perlu melibatkan masyarakat penerima bantuan dalam proses identifikasi, dan juga mengakomodasi saran dari ahli ekonomi, tokoh agama, petugas lapangan dan pemimpin program yang memiliki komitmen kuat terhadap masyarakat.  Responden menegaskan pentingnya kelompok diskusi terarah (FGD), pertemuan dan evaluasi di antara penerima bantuan, dan juga pembinaan pengembangan diri bagi para petugas lapangan dan pemimpin program untuk membangun lingkungan yang kondusif untuk pengembangan ekonomi.

Anggota memberikan informasi tentang pengembangan kesadaran usaha di kalangan penerima bantuan yang dilakukan melalui tinjauan terhadap faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kondisi ekonomi termasuk kekuatan sumber daya individu, kelemahan, lingkungan, peluang pasar, kebijakan, peraturan, dan sistem sosial yang perlu dipahami dalam mencari kesempatan bentuk usaha terbaik.  Dalam memfasilitasi peserta program menetapkan sendiri kategori penerima bantuan, perlu diingat beberapa faktor kunci dalam proses memilih penerima bantuan seperti pemahaman budaya, kapasitas internal dan eksternal kaum miskin, pengetahuan tentang cara hidup masyarakat dan berkerja bersama mereka.

Meninjau faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan program pengembangan ekonomi, anggota mengungkapkan bahwa jenis bantuan perlu disesuaikan dengan tipe penerima bantuan.  Sebagai contoh, pemberian alat pertanian bagi individu atau keluarga, sedangkan pemberian bentuk natura seperti ternak bagi kelompok atau lingkungan dan  pinjaman tunai bagi kelompok melalui NGO. Anggota berpendapat bahwa penjajakan yang memadai terhadap penerima bantuan dapat menghindari masalah misalnya penerima bantuan menjual alat-alat atau asset yang diterima atau asset yang tidak digunakan menjadi ‘dead capital’. Anggota menggaris-bawahi beberapa faktor penting lainnya seperti kepemimpinan di antara penerima bantuan, peningkatan keahlian, akses pasar serta waktu dan lokasi tertentu dari program pengembangan.

Anggota memberi perhatian pada beberapa faktor lain dari program pengembangan, antara lain peranan pemerintah pada tingkat makro dan pihak lain yang berperan pada tingkat mikro. Anggota juga mengungkapkan pentingnya peningkatan kapasitas serta prasarana umum dalam pelaksanaan program pengembangan.   

Pada intinya, anggota berpendapat bahwa penerapan pendekatan, strategi dan metode secara tepat dan bijak melalui proses identifikasi penerima bantuan yang efektif, akan menciptakan program pengembangan yang menyeluruh.



Banda Aceh, Indonesia

Mekanisme Amal (zakat), Banda Aceh , Indonesia (dari Marthunis Muhammad, BAPPEDA, Banda Aceh)
Identifikasi penerima bantuan adalah proses yang kompleks karena banyak pihak merasa berhak menerima bantuan, terutama bila program bekerja di wilayah yang terjadi sindrom bantuan.  Salah satu strategi yang efektif adalah menerapkan Musannif Zakat dimana penerima bantuan diberlakukan sebagai penerima murni.  Zakat merupakan terminologi dalam agama Islam, sehingga bermakna sakral bagi masyarakat Aceh dan karena itu dapat  menghindari penyalahgunaan program.

Sumatera Utara, Indonesia

Tipe penerima bantuan berkaitan dengan Tipe bantuan/Intervensi (dari Muhammad Jamil, World Vision Indonesia , Sumatera Utara , Indonesia ) 
Melalui pendekatan PLA World Vision Indonesia menjajaki kepentingan dan kebutuhan masyarakat penerima bantuan dan minta mereka sendiri mengidentifikasi sumber daya di desa tersebut.  Setelah menganalisa, donor memberikan bantuan dalam bentuk pinjaman tunai melalui NGO kepada individu dengan penegasan bahwa penerima bertanggung jawab mengembalikan dana tersebut untuk digulirkan kepada yang lain.  Bantuan juga diberikan dalam bentuk natura seperi ternak.

Yogyakarta, Indonesia

Peringkat Kesejahteraan (dari Sabastian Saragih, CIRCLE Indonesia , Yogyakarta , Indonesia )
Alat ini merupakan bagian dari Participatory Rural Appraisal (PRA) menandai awal pendekatan Sustainable Livelihood dan penggunaannya dalam pemetaan kaum miskin.  Melalui wawancara atau kelompok diskusi terarah, masyarakat atau komunitas diminta menentukan siapa yang paling miskin dan yang paling kaya di desa mereka.  Kemudian, disusunlah indikator tingkat kemiskinan dan kemakmuran yang diterapkan pada kepemilikan perorangan atau akses terhadap sumber mata pencaharian.


Rekomendasi Dokumen

Dari Tonny Bengu, CARE International Indonesia , Timor , Nusa TenggaraTimur

Household Economy Approach
Dokumen; oleh Tanya Boudreau and Penny Holzmann; The Practitioners’ Guide to the Household Economy Approach; The Economy Group and Save the Children UK; 2007; Versi Bahasa Inggris tersedia di  http://www.oxfam.org.uk/resources/learning/humanitarian/downloads/hea.pdf  (PDF, Size: 174 KB)
Membimbing dalam proses identifikasi wilayah mata pencaharian, menetapkan kelompok sejahtera, pendapatan dan biaya rumah tangga, dampak dan identifikasi kerugian mata pencaharian.

Household Livelihood Security Assessments
Alat; oleh McCaston M. Katherine, Luther  Kristina, Frankerberger Timonthy, Bedit James; Tango International, Tueson; Arizona for CARE USA; Atlanta, Georgia; 2002; Versi Bahasa Inggris tersedia di http://www.chs.ubc.ca/archives/files/Household-Livelihood-Assessment.pdf  (PDF, Size: 3.2 MB)
Mencakup definisi, pedoman kegiatan, pengumpulan data dan analisis, rekomendasi bagi penerima bantuan yang bergantung pada kondisi sumber alam.

Participatory Rural Appraisal
Makalah Teknis; oleh Philip Townsley; Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy; 1996; dokumen ini harus melalui ijin; Versi Bahasa Inggris tersedia di    http://www.fao.org/docrep/006/w2352e/w2352e00.htm
Laporan tentang mata pencaharian nelayan mencakup definisi, metode, alat, pendekatan untuk mengatasi faktor-faktor yang khusus seperti lingkungan alam, sosial-budaya, kelembagaan, pasar, kredit nelayan dan lainnya.

Sustainable Livelihood (dari Sabastian Saragih, CIRCLE Indonesia , Yogyakarta )
Dokumen; oleh Robert Chambers dan Gordon R. Conway; Institute of Development Studies ; 1991; Versi Bahasa Inggris tersedia di http://www.ids.ac.uk/ids/bookshop/dp/dp296.pdf (PDF, Size: 186 KB) dan http://www.livelihoods.org/SLdefn.html 
Perincian konsep praktis tentang mata pencaharian yang berkelanjutan di pedesaan, aspek lingkungan dan sosial yang berkelanjutan, praktek analisis sumber daya, produktifitas dan ekonomi skala kecil.

Plural Learning of Action (dari Muhammad Jamil, World Vision Indonesia , Sumatera Utara)
Narasi; oleh World Vision International; Laos ; Versi Bahasa Inggris tersedia di  http://laos.wvasiapacific.org/index.php?option=com_content&task=view&id=95
Menyampaikan metode PLA yang diterapkan oleh World Vision International, khususnya dalam proyek komunitas pedesaan di propinsi Savannakhet.

Dari Marthunis Muhammad, BAPPEDA, Banda Aceh

Musannif Zakat
Guideline; Islamic Charity Organization “Rumah Zakat’ (House of Charity); Versi Bahasa Indonesia tersedia di http://www.rumahzakat.org/pengenalan_zakat.php?data=5
Uraian tentang “Zakat” sebagai sumbangan (donasi) dalam hukum Islam, mencakup orang yang wajib memberi donasi, cara menghitung, proses pelaksanaan, pengelola dan kriteria dalam mengidentifikasi penerima bantuan.    

Dead Capital
Berita Online News; oleh Hernando de Soto; Reason Online; Mei 2001; Versi Bahasa Inggris tersedia di http://www.reason.com/news/show/28018.htm 
Analisis tentang ekonomi global yang berlangsung beberapa abad yang mempengaruhi ekonomi di berbagai negara, termasuk isu marginal, sektor swasta, hukum, imigran, teknologi dan organisasi.

Rekomendasi Organisasi dan Program

Inspiring for Managing People’s Actions (IMPACT), Banda Aceh (dari Muslim Hasan Birga, Banda Aceh)
Jalan T. Iskandar No. 50 Lambhuk Banda Aceh 23118 Indonesia ; Tel.: + 62 651 28541; Fax: + 62 651 28542; admin@impactaceh.org; http://impactaceh.org/profile2.htm
Memberi konsultasi untuk perbaikan kinerja lembaga swadaya, penguatan rehabilitasi paska tsunami dan mendukung percepatan pertumbuhan mata pencaharian yang berkelanjutan.

Center for Community Development and Education, Banda Aceh (dari Agus Saputra, Banda Aceh)
Jalan Tengku chik Lorong E no. 18 Berawe Banda Aceh 23001 Indonesia ; Tel.: + 62 651 742 8446; http://www.ccde.or.id
Memberdayakan kaum perempuan Aceh untuk mengatasi kemiskinan keuangan dan intelektual, terutama melalui program keuangan mikro dan usaha mikro.

Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH), Banda Aceh (dari Said Muhammad, Banda Aceh)
Jalan T. Nyak Arif Darussalam, Banda Aceh 23111 Indonesia ; Tel.: + 62 651 755 3205, 7553248; Fax: + 62 651 742 8680, 755 1241;  http://www.unsyiah.ac.id/
Menyampaikan laporan studi, lokakarya dan proyek, termasuk informasi bidang ekonomi dan pertanian di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

CIRCLE Indonesia , Yogyakarta (dari Sabastian Saragih, Yogyakarta )
Jalan Kaliurang Km 9 Klabanan Sardonoharjo RT 06/RW 46 Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Indonesia ; Tel./Fax: + 62 274 884 986; http://circleindonesia.or.id
Berpengalaman menyelenggarakan pelatihan dan melaksanakan proyek mata pencaharian di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Dari Marthunis Muhammad, BAPPEDA, Banda Aceh

Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Jalan T. Cot Plieng No. 48 Banda Aceh Indonesia ; Tel.: + 62 651 755 4635; Fax: + 62 651 755 4636;
bpde@nad.go.id; http://www.nad.go.id/index.php
Menyediakan direktori dan data bagi keperluan masyarakat luas, melputi peraturan, pelayanan umum, laporan tahunan, survei on-line serta berita tentang pengembangan ekonomi.

BAPPEDA Provinsi Nanggroe Aceh
Jalan Tgk. H. M. Daud Beureu-eh no. 26 Banda Aceh 23121 Indonesia ; Tel.: + 62 651 21440; Fax: + 62 651 33654
Menyediakan informasi dan pelayanan kegiatan ekonomi, seperti perijinan, data sumber daya ekonomi, produksi, dana dan investasi.

IDEP Foundation, Bali (dari Sayu Komang, Ubud, Bali )
Jalan Hanoman No.42 Ubud, Bali , Indonesia PO BOX 160 Ubud, 80571, Bali Indonesia ; Tel./Fax: + 62 361 981504; info@idepfoundation.org; http://idepfoundation.org
Bekerja bersama dan memberi pelatihan kepada penerima bantuan tertentu untuk memperbaiki situasi kehidupan melalui solusi kehidupan yang berkelanjutan untuk rumah tangga, usaha, sekolah dan komunitas.

Dari Tonny Bengu, CARE International Indonesia , Timor , Nusa Tenggara Timur

CARE Indonesia, Jakarta
TIFA Building 10th floor Suite 1005 Jalan Kuningan Barat 26 Jakarta 12710 Indonesia ; Tel.: +62 21 529 222 82; Fax: +62 21 529 222 83; info@careind.or.id; http://www.careindonesia.or.id/
Mengoperasikan manual penjajakan mencakup seleksi penerima bantuan terutama melalui pengumpulan dan analisis data (Household Livelihood Security Assessments).

OXFAM GB Indonesia, Jakarta
Jalan Taman Margasatwa 26, Ragunan,
 Jakarta 12550
 Indonesia ; Tel.: + 62 21 7811827; Fax: + 62 21 7812321; Jakarta@oxfam.org.uk; http://www.oxfam.org.uk 
 Menerapkan identifikasi penerima bantuan dengan menggunakan suatu manual. (Household Economy Approach).

International Organization for Migration (IOM) Indonesia , Banda Aceh (dari  Akhmad Muharram, Banda Aceh)
Jalan Sudirman no. 32 Banda Aceh 23230 Indonesia ; Tel.: + 62 651 43556; Fax: + 62 651 43554; iomaceh@iom.int; http://www.iom.or.id/ 
Melakukan seleksi penerima bantuan dalam beberapa tipe proyek seperti Tanggap Darurat, Pengaturan Migrasi Paska-Krisis, dan lainnya.

World Vision Indonesia , Jakarta (dari Muhmamad Jamil, Sumatera Utara)
Jalan Wahid Hasyim No 33 Jakarta 10340; Tel.: + 62 021 327 467; Fax: + 62 21 310 7846; Indonesia@wvi.org; http://www.worldvision.org/content.nsf/sponsor/sponsor-indonesia 
Melaksanakan proyek peningkatan pendapatan dan pendidikan dalam menolong keluarga agar menetap di komunitasnya.

Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), Jakarta (dari Kasru Susilo, Jakarta )
Jalan Kebon Sirih No. 5G Kebon Sirih Jakarta Pusat 10340 Indonesia ; Tel.: +62 21 3103535; Fax: + 62 21 3147321; Hotline: +62-21-93220102; sekretariat@mpbi.org; http://www.mpbi.org/
Berpengalaman memilih penerima bantuan yang hidup dalam risiko bencana, dan melibatkan penerima bantuan tertentu dalam lokakarya dan pelatihan.

Rekomendasi Komunitas dan Jaringan

Forum Koordinasi Percepatan Pembangunan Ekonomi Aceh - Aceh Partnerships for Economic Development, Nanggroe Aceh Darussalam , Indonesia (dari Thamrin Simanjuntak, Moderator)
Jalan Tgk Daud Beureueh No 26. Banda Aceh, Province of Nanggroe Aceh Darussalam , Indonesia ; Tel.: + 62 651 21064; aped@aped-project.org; http://www.aped-project.org/diskusi/forumdisplay.php?f=5
Fasilitasi diskusi mengenai percepatan pengembangan ekonomi di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

CGIAR - Post Tsunami Initiatives Mailing-List Based Discussion Forum, Center for International Forestry Research, Bogor , Indonesia (dari Dewi Gayatri, Research Assistant)
Jalan CIFOR Situ Gede Bogor Barat 16115 Indonesia P.O. Box 0113 BOCBD Bogor 16000;
Tel.:
+ 62 251 862 2622;  Fax: + 62 251 862 2100; cifor@cgiar.org; http://groups.yahoo.com/group/cgiar_tsunami/  
Menyampaikan informasi tentang perbaikan mata pencaharian dan pengelolaan sumber alam di wilayah yang terkena bencana tsunami dan gempa bumi secara langsung ataupun tak langsung.



Kasru Susilo Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), Jakarta , Indonesia

Identifikasi Target Penerima Bantuan:
Penerima program dapat diklasifikaskan (dalam konteks mengentaskan kemiskinan) sesuai skalanya:
a.   Individu – sekujur
b.   Sepasang - sekasur
c.    Sekeluarga – sedapur
d.   Sepertetanggaan- sesumur
e.   Sedusun – selembur sampai Segubernur

Satuan ukuran (skala) penerima bantuan akan menentukan jenis program, termasuk sistem yang kita gunakan akan berbeda untuk setiap macam skala.

Terlebih, kalau kita lihat dari sisi socio-politik-ekonomi, pada hemat saya, program yang specifik dibutuhkan “untuk membantu mereka”, untuk masa tertentu, lokasi tertentu, yang bersifat strategis dan berlangsung kontinu, sehingga program tidak dapat digeneralisir.

Ada juga aspek:
Pada tingkat Makro: tugas dan domain pemerintah
Pada tingkat Mikro: niat dan kemauan/kemampuan/ para pelaku (bisa dibina) bersifat privat masing-masing yang terlibat
Pada tingkat Meta : kapasitas sosial dan sosial kultural (perlu program/strategis jangka panjang yg menjadi komitmen/kompentensi masyarakat)
Pada tingkat Meso: infrastruktur sosial dan teknis (sarana dan prasarana publik) bersifat publik dan menjadi tanggung jawab swasta/pemerintah/masyarakat dalam mewujudkan governance yg baik menuju terselenggaranya program pengembangan ekonomi lokal.

Itu berbeda situasi dan kondisi pada skala obyek yg dibantu (sedapur atau segubnernur).
Belum lagi analisa kemampuan masing-masing anggota masyarakat dalam tingkat keterlibatan dalam kelompoknya.

Sekian respon instan buat pak Said.


Tonny Bengu, CARE International Indonesia , Timor, Nusa Tenggara Timur , Indonesia  

Banyak pendekatan yang dapat kita pakai.  Di CARE kami gunakan HSLA (Household Livelihood Security Analysis). Bapak dapat ketik HLSA masuk ke google dan dapatkan langkah-langkanya. Secara praktis yang kita butuhkan:

1.   Proses assesment atau survey dengan menggunakan pentagon HLS
2.   Penggunaan metode PRA
3.   Penggunaan sistem skoring
4.   Kriteria tiap daerah yang pasti ada perbedaan

Juga jika bertanya tentang pendapatan masyarakat kecil, kita bisa menggunakan strategi bertanya seperti:
Berapakah·    pengeluarannya sebulan dan untuk apa saja? Orang akan lebih jujur bercerita tentang pengeluarannya dari pada tentang pendapatannya.

Harta atau asset yang mereka miliki juga mesti banyak dicermati.  Metodeloginya memang terasa panjang.  Bapak juga dapat gunakan Household Economy Approach (HEA) seperti yang digunakan oleh teman-teman OXFAM.  Mungkin ini dulu tapi jika ada diskusi lebih lanjut, kita dapat share lagi.


Johanes Yonerson , Haskoning Nederland BV, Jawa Tengah , Indonesia

Saya mencoba sharing pengalaman saya sebelumnya sebagai staf community development pada sebuah perusahaan PMA pertambangan di Kaltim.

Pada dasarnya kondisi masyarakat sasaran program dibagi dalam 3 golongan juga:

Golongan pertama adalah mereka yang sebenarnya 'berada' tapi tidak menyadarinya dan tidak memiliki pengetahuan mengelolanya sehingga terlihat miskin. Mereka-mereka ini perlu program-program pelatihan dan manajemen saja.

Golongan kedua adalah mereka yang tidak memiliki apa-apa, paling2 punya tempat tinggal, tapi sumber daya sekitarnya ada, mereka-mereka ini perlu program pelatihan dan modal usaha, misalnya membentuk kelompok swadaya masyarakat.

Pada saat ini orang-orang yang telah melalui pelatihan-pelatihan dan membentuk kelompok-kelompok swadaya masyarakat (KSM) waktu itu (1998 - 2002) telah banyak yang menjadi orang yang lebih maju baik secara kelompok maupun mandiri.

Golongan ketiga adalah kelompok masyarakat yang tidak memiliki apapun, sehingga satu-satunya program yang mungkin adalah 'charity' untuk menyelamatkannya. Seperti orang kecebur sumur tentu tidak berguna diberi program manajemen usaha. Yang mereka perlukan saat itu adalah bagaimana keluar dari sumur.

Ketiga golongan diatas membutuhkan program yang berbeda, jika dipukul-ratakan maka ada kelompok yang merasa program itu tidak bermanfaat.

Hal lain yang menyebabkan banyak program gagal adalah orang memikirkan/ mengadakan uang dulu baru program belakangan. Itulah yang terjadi pada golongan pertama di atas, uang sebenarnya ada tapi rencana produktif tidak ada sehingga uang digunakan untuk hal-hal konsumtif. Uang apapun selalu habis tak berbekas.

Kunci dari pemberdayaan model ini ini adalah tenaga-tenaga pendamping yang memiliki komitmen kuat dalam pendampingan, pimpinan mempunyai komitmen kuat mendukung program. Aplikasi program membutuhkan waktu panjang mulai dari menumbuhkan kelompok, mengembangkan diri hingga kelompok menjadi mandiri (tanpa pendampingan lagi).

Sekian, semoga bermanfaat. Terima kasih


Marthunis Muhammad, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh , Indonesia

Identifikasi penerima bantuan memang menjadi hal yang rumit. Banyak pihak merasa berhak menerima bantuan. Apalagi dilakukan di daerah yang sudah terjangkit donor recipient syndrome. Tapi ada sebuah cara yang mungkin bisa dicoba dalam konteks Aceh yaitu penerima bantuan berbasis musannif (penerima zakat). Mengapa cara ini layak dicoba? Zakat merupakan terminologi syariah yang masih dianggap sakral oleh masyarakat khususnya Aceh sehingga dapat mencegah praktek free rider karena ada faktor  "invisible hand" .

Namun dalam prakteknya, tentunya lebih baik apabila identifikasi ini dilakukan secara partisipatoris, melibatkan semua pihak termasuk ahli ekonomi, alim ulama, dan pihak lain untuk memastikan pilihan-pilihan yang diterima masyarakat adalah "informed choice". Informed choice ini penting untuk menutupi kelemahan dari kegiatan partisipatoris (atau lebih luas demokrasi). Ekstrimnya, didalam komunitas maksiat tentunya pilihan maksiat bukanlah hal yang perlu ditolak.

Untuk intervensi pengentasan kemiskinan, terdapat beberapa kerangka kerja (framework) yang bisa dicoba seperti Household Livelihood Security Analysis (HLSA) seperti disebut Pak Tonny sebelumnya  link link http://www.solex-un.net/repository/id/ecdv/cr1-res1-bahasa.doc  ataupun Sustainable Livelihood Framework (SLF- http://www.livelihoods.org). Semua framework ini menyiratkan kemiskinan bukan hanya permasalahan kepemilikan asset tapi juga lingkungan yang kondusif (institusi, budaya, proses dll).

Istilah 'dead capital'-nya Hernando de Soto mungkin bisa mewakili fenomena ini. (Asset atau harta menjadi dead capital atau modal yang mati yang tidak dapat dimanfaatkan maksimal, misalnya untuk jaminan kepada pihak ketiga dalam kerangka proposal rencana bisnis).
                                                                               
Demikian urun diskusi dari saya. Mohon maaf jika ada hal yang kurang berkenan.


Muhammad Jamil , World Vision Indonesia , Sumatera Utara , Indonesia

Untuk menentukan  penerima bantuan kita memerlukan asessment, dan kita biasa melakukannya dengan cara  PLA (Plural Learning for Action) dimana masyarakat kita kumpulkan untuk dapat melakukan :

1. Meeting
2. Diskusi
3. Evaluasi

Selanjutnya  dalam PLA kita mencari tahu tentang minat (kemauan) dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat penerima bantuan, kemudian kita tanya kepada masyarakat tentang potensi yang ada di desa mereka. Kita melihat dan menganalisis potensi desa tersebut, sehingga bantuan yang kita berikan akan lebih sesuai dengan target penerima bantuan dan lebih sesuai daripada apa yang dialami beberapa NGO pada masa emergency.

Kalau untuk bantuan/intervensi yang diberikan sebaiknya :

Untuk peminjaman uang langsung (tunai) biasanya Donor/Penyandang Dana menunjuk LSM lokal yang bisa dipercaya dan  sudah berpengalaman. Ini juga dilakukan untuk menunjukkan kepada masyarakat dana yang diberikan bukan dana hibah sehingga penerima bantuan mempunyai tanggung jawab untuk mengembalikan uang tersebut. Dengan pengembalian uang tersebut Donor bisa membantu masyarakat lain yang membutuhkan.

Untuk bantuan hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing dan sejenisnya dapat dilakukan dengan cara sistem bergulir. misalnya seorang anggota kelompok mendapat bantuan kerbau, setelah kerbau beranak dan siap disapih oleh induknya, kemudian induk  kerbau tersebut diserahkan kepada penerima bantuan selanjutnya untuk melanjutkan pemeliharaan.

Mudah-mudahan ini bisa menjadi tambahan input.


Akhmad Muharram , International Organization for Migration (IOM), Banda Aceh , Indonesia

Menanggapi tantangan Pak Said dalam menjalankan program yang bertujuan mengurangi kemiskinan dan memperbaiki taraf hidup masyarakat, saya ingin berbagi sedikit pengalaman dalam bekerjasama dengan masyarakat akar rumput.
Pengalaman ini saya dapatkan ketika selama 3 tahun hidup bersama pengungsi korban konflik.

Pertama; Mengenai pendekatan dan strategi intervensi sudah cukup banyak dipaparkan oleh kawan-kawan yang lain yang menurut saya cukup layak untuk diaplikasikan ke dalam program Bapak.
Saya hanya menambahkan bahwa penting untuk mendominasikan muatan budaya penerima manfaat ke dalam pendekatan program dengan melakukan beberapa penyesuaian.

Berkaitan dengan pendekatan yang bapak lakukan, saya sedikit kesulitan untuk melihat bagaimana proses cluster penerima manfaat bisa di dapatkan?
Apakah penerima manfaat sendiri yang ikut ambil bagian dalam menentukan tingkatan?
Jika memang penerima manfaat sendiri yang menentukan atau paling tidak mereka terlibat dan menyetujui tingkatan tersebut maka tidak perlu terlalu ragu terhadap tingkatan penerima manfaat ini.

Sekali lagi banyak pendekatan dan alat untuk menentukan penerima manfaat namun jika ditekankan pada proses ketelibatan dan pengakuan penerima manfaat, akan semakin memperkuat program dan itu berakar pada keinginan penerima manfaat.

PRA (Participatory Rural Appraisal) merupakan “salah satu” ALAT untuk mendorong proses tersebut, namun menurut saya ketahui PRA adalah Participatory, Reflection and Action.
Bagaimana keterlibatan penerima manfaat dalam menjalankan program, kemudian merefleksikannya secara teratur terhadap harapan awal, dan menjadikan refleksi bersama tersebut ke dalam langkah konkrit dengan menggali potensi penerima manfaat dan sudah tentu melalui proses dengan tidak mengabaikan nilai-nilai budaya mereka.

Kedua; Jika ditanya contoh intervensi yang berhasil saya kira bisa lebih pada bagaimana menghargai budaya budaya lokal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan ini dimasukan ke dalam strategi program entah bagaimana membahasakannya.
Pelatihan, coaching,  ToT (training of trainers) dan apapun namanya harus benar-benar dilakukan untuk membangkitkan potensi penerima manfaat yang sudah lama hilang bukan justru menciptakan ketrampilan baru yang membutuhkan proses panjang dan hanya menjadi indikator capaian program secara tertulis.

Pendekatan lain adalah dengan menjadi bagian dari mereka dengan membangun kepercayaan penerima manfaat. Misalnya: Staf atau siapa saja yang akan berproses dengan penerima manfaat dapat menjadi bagian dari kehidupan penerima manfaat dan jangan membawa sesuatu atau mengubah sesuatu yang bertentangan dengan budaya dan eksistensi penerima manfaat ( cara bicara, berpakaian, dan lainya). Intinya, hiduplah bersama penerima manfaat.


Sabastian Saragih , CIRCLE Indonesia , Yogyakarta , Indonesia

Sebelum sampai ke soal teknis bagaimana menentukan beneficiaries, saya sedikit mau berbagi pandangan soal pemiskinan dengan kaca mata apa yang disebut pendekatan Sustainable Livelihood.  Dalam pandangan saya di bawah ini saya menggunakan istilah yang lazim saya gunakan dalam memfasilitasi kelompok masyarakat mendesain program dengan menggunakan pendekatan Sustainable Livelihood.  Saya menggunakan istilah "Roda Penghidupan Berkelanjutan" untuk memperkenalkan Sustainable Livelihood Framework.

 Dalam kosa kata pergaulan sehari-hari di masyarakat Indonesia , kita mengenal phrase yang disebut “Hidup sebagai roda pedati, kadang di atas kadang di bawah”. Namun kalau kita tanya lebih jauh maka orang akan bilang dia akan tetap mau di atas dan kalaupun jatuh ke bawah bisa dengan cepat naik ke atas.

Konsep Sustainable Livelihood pertama kali digunakan Chambers and Conway pada tahun 1990an dan kami memperkenalkan istilah ini kira-kira 10 tahun yang lalu, kami menyebutkannya sebagai “penghidupan berkelanjutan”. Intinya adalah bahwa penghidupan kita hanya akan berkelanjutan jika kita bisa mencapai tujuan-tujuan hidup kita, termasuk ketika terjadi perubahan yang merugikan terjadi, dengan tidak mengurangi kesempatan generasi mendatang untuk mencapai tujuan hidupnya paling tidak sama baiknya dengan  kita sekarang.  Lihat juga http://www.livelihoods.org/SLdefn.html

Ada kesamaan logika antara Chambers dengan kebanyakan masyarakat di Indonesia yaitu pada intinya roda hidup tidak statik, terkadang bisa ke atas atau ke bawah.

Apa yang bisa membuat roda kehidupan manusia menurun ke bawah atau naik ke atas?

Ketika manusia tidak mampu menghadapi tekanan luar yang merugikannya maka roda hidupnya akan berputar ke bawah. Sebaliknya ketika kekuatannya lebih besar dari kekuatan atau perubahan di luar maka roda kehidupannya tetap di atas.

Oleh sebab itu ketika bicara tentang kemiskinan dan penanggulangannya maka kita sedang berbicara tentang kekuatan-kekuatan yang mengancam manusia (faktor eksternal) dan kekuatan yang dimiliki manusia (faktor internal).

Kekuatan-kekuatan yang mengancam (eksternal) adalah kekuatan yang keterjadiannya ditentukan oleh kekuatan di luar orang yang kita sebut orang miskin. Faktor eksternal tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu:
1.   Perubahan yang merentankan/melemahkan (vulnerability context) seperti
a.   Trends/kecenderungan atau perubahan perlahan
b.   Shocks/perubahan mendadak yang biasanya mengakibatkan bencana
c.    Perubahan musiman
2.   Kebijakan/peraturan, adat istiadat, juga meliputi institusi dan proses.

Sementara itu yang termasuk kekuatan internal orang miskin adalah:
1.   Sumber daya kehidupan yang dimiliki atau bisa digunakan oleh manusia (orang miskin) yang bisa dikelompokkan ke dalam
a.   Sumber daya manusia
b.   Sumber daya alam
c.    Sumber daya keuangan
d.   Sumber daya sosial
e.   Sumber daya fisik/infrastruktur.
2.   Strategi atau kegiatan-kegiatan penghidupan yang dilakukan
3.   Tujuan-tujuan/prioritas hidup dan capaiannya

Pendekatan Sustainable Livelihood melihat bahwa faktor eksternal khususnya kebijakan bisa dipengaruhi oleh orang miskin namun kekuatan memutuskan tetap ada di pembuat keputusan tersebut.  Oleh sebab itu ketika kita bicara soal kemiskinan maka mau tidak mau kita tidak berhenti pada kemiskinan dalam arti kepemilikan sumber daya tetapi juga melihat kondisi kekuatan eksternal.

Pendekatan Sustainable Livelihood dimulai dengan pemetaan siapa yang miskin dengan alat PRA (Participatory Rural Appraisal) yang disebut ranking kesejahteraan. Masyarakat, baik melalui interview maupun melalui Focus Group Discussion, diminta untuk mengingat kembali siapa-siapa orang yang disebut sangat miskin atau sangat kaya di desa mereka.
Lalu masyarakat diminta untuk merumuskan indikator kemiskinan dan kekayaan dari orang-orang yang mereka maksud. Indikator kemiskinan bisa soal sumber daya kehidupan yang dimiliki atau bisa digunakan.  Dari kedua kelompok ekstrim (sangat kaya & sangat miskin), pertanyaan dilanjutkan untuk mengidentifikasi kelompok kaya dan miskin berikut indikatornya, baru kemudian kelompok menengah atau kelompok orang kebanyakan di desa.

Kelompok sangat miskin dan miskin adalah kelompok yang sangat besar kemungkinan untuk jatuh ke kesengsaraan ketika terjadi perubahan-perubahan atau ada kekuatan luar yang negatif yang menimpanya.  Nelayan yang tidak punya tabungan dan tidak punya tauke akan menjadi sangat sengsara hidupnya ketika musim tidak bisa melaut terjadi. Apalagi kalau dia tidak punya kebun dan tidak ada mekanisme sosial di desanya yang bisa menolongnya. Hal ini tentu berbeda dengan nelayan yang punya tauke.  Keduanya bisa sama miskinnya dari segi financial, kepemilikian lahan dan sumber daya manusia maupun infrastruktur (rumah misalnya) tetapi akibatnya pada musim-musim tertentu bisa berbeda.  Yang punya tauke masih bisa hutang kepada taukenya sementara yang tidak punya tauke jatuh ke dalam bencana kelaparan. Tauke tersebut juga merupakan faktor eksternal.

Lalu ketika kita berbicara mau merumuskan intervensi apa, maka menjadi penting memahami roda kehidupan orang yang disebut miskin dan sangat miskin tersebut. Dalam hal ini berarti memahami kekuatannya dan ancaman atau kekuatan luar yang mengancamnya.  Juga dalam mengidentifikasi kekuatan-kekuatan luar yang bisa menjadi faktor pendorong. Hanya dengan demikian tujuan untuk menguatkan orang miskin membangun roda kehidupan yang berkelanjutan bisa tercapai.

Kami sudah memiliki panduan praktis (dalam bentuk soft copy) untuk desain projek/program dengan menggunakan pendekatan ini. Bagi yang berminat kami bisa kirimkan.


Muslim Hasan Birga , Inspiring for Managing People’s Actions (IMPACT), Banda Aceh, Indonesia

Tidak terlalu berhasil memperbaiki kondisi ekonomi para penerima bantuan, adalah pendapat yang saya sangat setujui.  Fakta memang membuktikan demikian meskipun ada diantara penerima bantuan tersebut yang berhasil.  Menurut saya  kegagalan ini diakibatkan oleh kekeliruan cara pemberi bantuan memandang masyarakat dan kemiskinannya.
Satu contoh kasus:  Suatu program ditujukan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan dan solusi yang diberikan adalah bantuan pemberdayaan ekonomi misalnya bantuan modal. Tetapi setelah program berakhir, kemiskinan tetap berada pada penerima bantuan.

Saya rasa kurangnya akses modal bukanlah variable satu-satunya terhadap kemiskinan. Lemahnya kepemimpinan (Visi, misi, prinsip, tujuan, potensi diri, dll) adalah faktor penting yang perlu diperhatian.  Berbagai training, workshop dan diskusi sudah berkesimpulan demikian.

Intervensi yang diawali oleh penguatan kepemimpinan sepengetahuan saya masih sangat jarang dilakukan. padahal konsep ini telah berhasil dipraktekkan di negara lain.  Gagalnya program meningkatkan kemakmuran orang miskin adalah kegagalan membangun harapan bagi masyarakat  miskin.  Menurut saya pengelompokan berdasarkan kualitas kepemimpinan  dan fakta kuantitatif akan lebih bermakna bila dibandingkan pada pengelompokan yang hanya didasari oleh fakta kuantitatif saja.

Saya pikir cukup menarik bila UNSYIAH melakukan riset lebih mendalam tentang konsep ini.

Demikianlah semoga bermanfaat


Job Charles , International Organization for Migration (IOM), Banda Aceh , Indonesia

Kita telah belajar dari  berbagai lembaga baik pemerintah maupun non-governmental dalam menentukan penerima bantuan sasaran. Ada beberapa hal yang perlu kita pahami, kita perlu menyadari tujuan bantuan tersebut untuk siapa, apakah langsung individu atau kelompok. Berdasarkan itu, ada dua tipe bantuan yang berbeda,

Tipe bantuan langsung individu :
Maka pendekatan yang dilakukan adalah kepada individu, mulai dari melakukan assessment atau tahapan diskusi harus menggunakan pendekatan  kepada individu. Karena kalau hal itu dilakukan dalam bentuk kelompok, orang-orang yang dominan akan mempengaruhi golongan orang yang rentan ( kurang percaya diri). 
Dari pengalaman empiris banyak orang sulit mentukan ide bisnis. Maka dalam hal ini mereka perlu mendapatkan kanseling tentang penyadaran business (business awareness). Fasilitator akan menggali potensi yang ada pada individu tersebut, apa kelemahan, bagaimana peluang dalam memilih bisnis, serta market opportunity dari usaha yang dijalankan. Barulah dengan demikian mereka dengan percaya diri menentukan ide usaha yang mereka jalani tanpa ada intervensi dari orang lain.

Jenis bantuan untuk individu, antara lain:
In kind Grant,
penerima manfaat akan menerima bantuan dalam bentuk material, tool, equipment.  Sistem ini memiliki kelebihan yang mana  beneficiaries akan langsung dapat menjalankan bisnisnya. 
Kelemahan sistem seperti ini adalah, proses akan menyibukkan staf, perlu waktu, dan kesabaran. Sebagai contoh: kalau salah dalam menentukan dan memberikan jenis barang, beneficiaries akan menjual (menolak menggunakan) barang tersebut.

Cash Grant,
Dari pengalaman kawan-kawan praktisi, cash grant banyak disalah gunakan apalagi ada intervensi anggota lain dari keluarga.

Tipe bantuan dalam kelompok:
Bantuan kepada kelompok adalah bagaimana memberikan gambaran holistik kepada beneficiaries, serta membangun misi dan visi terhadap anggota kelompok.
Banyak istrumen dan metode dalam pengembangan pembangunan kapasitas wilayah kelompok, baik kelompok pemula, berkembang serta kelompok mandiri.


Agus Saputra , Center for Community Development and Education (CCDE), Banda Aceh , Indonesia

Sebagai tambahan dari apa yang Pak Muslim sampaikan pada responnya terhadap pertanyaan di sini, bahwa cara pendampingan yang lebih mengedepankan skill dalam hal kepemimpinan yang harus diutamakan, ada satu permasalahan lagi.Ini adalah yang dialami oleh para masyarakat yang mendapatkan modal usaha dan mulai berproduksi, yaitu permasalahan  pasar.
Bagaimanapun masyarakat telah membuat produksi yang secara besar-besaran, selalu saja akhirnya mereka bingung bagaimana cara memasarkan produk mereka, dan barang tersebut tidak berhasil dijual sehingga tentunya mereka tidak mendapatkan keuntungan yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.  Akhirnya dapat dikatakan kemiskinan merupakan ekses dari kurangnya akses pemasaran tersebut.  Semestinya, para pemberi bantuan modal, kiranya dapat memberikan pendampingan secara menyeluruh kepada mereka. Mulai dari merencanakan usaha apa yang akan dijalankan, prosesnya hingga ke pemasaran produk yang dihasilkan.

Mungkin, di Aceh bisa dibentuk sebuah pasar tradisional yang menjadi pusat perbelanjaan makanan, minuman, pakaian, pernak-pernik, cinderamata atau penampilan budaya-budaya setiap daerah di Aceh, sehingga menjadi fokus tujuan turis asing bila berwisata ke Aceh. Sebagai contoh: Taman Ratu Safiatuddin mungkin bisa diolah dan dikembangkan menjadi objek wisata, pusat pemasaran dan budaya Aceh. Saya kira, ide ini sudah banyak yang memikirkan dan mengusulkannya kepada lembaga lokal maupun non-lokal tetapi belum terlaksana.


Sayu Komang , IDEP Foundation, Ubud, Bali , Indonesia

Kayaknya sekarang masalah ketepatan distribusi bantuan menjadi masalah urgent karena Donor atau masyarakat semakin berhati-hati memberikan bantuan untuk program yang belum jelas sasaran penerima bantuannya.

Tapi sebenarnya untuk hal tersebut yang paling penting adalah pada mekanisme assessment yang digunakan, yang  sebaiknya dilakukan dengan langsung turun kelapangan, bukan hanya mencari data di kantor-kantor dinas saja.  Kekuatan atau ketepatan distribusi bantuan adalah pada data assessment yang diperoleh dan dipergunakan.
Kalau itu sudah kuat dan lengkap, distribusi ataupun evaluasi nantinya menjadi sangat mudah.
Tapi kan , masing-masing lembaga memiliki metode yang berbeda, jadi kembali ke masing-masing lembaga tersebut.


Terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah memberikan tanggapan terhadap pertanyaan ini

Jika anda mempunyai informasi lebih lanjut yang ingin anda bagi mengenai topik ini, silahkan kirimkan ke Solution Exchange untuk Komunitas Praktisi Pembangunan Ekonomi melalui e-mail thamrincare@yahoo.co.id dengan subyek “Re: [se-ecdv-id] Pertanyaan: Subyek pertanyaan – Tipe pertanyaan. Tambahan Jawaban”
Ketentuan: Dalam mempublikasikan pesan atau menggabungkan pesan-pesan ini kedalam tanggapan yang disatukan, Solution Exchange tidak bertanggung jawab atas kebenaran atau keaslian pesan. Harap disadari bahwa anggota yang ingin menggunakan atau mengirimkan informasi yang terkandung dalam pesan-pesan ini mengandalkan penilaian mereka sendiri.